Makhluk Bebas Bernama Manusia - Why Must a Book be Judge by It's Cover?
(Hanya Ingin Berbagi Pikiran)
“Jika manusia punya hak untuk menemukan Tuhan dengan caranya sendiri
Dia juga berhak berpaling ke setan dengan caranya sendiri”
––– John D Thomas –––
Sejujurnya aku sedang merasa muak. Muak dengan orang-orang yang merasa dirinya adalah manusia paling bijak sejagad raya. Manusia-manusia yang merasa pantas menentukan apa yang baik, dan apa yang buruk untuk dirimu. Manusia-manusia yang menentukan sebuah nilai berdasarkan apa yang dilihat oleh mata yang dangkal, mengambil kesimpulan dengan kepala yang hitam putih dan mengeluarkan teori dengan lidah munafik
Memangnya kenapa kalau aku punya tato? Memangnya kenapa kalau aku punya piercing segede Ifrit? Memangnya kenapa kalau aku jalan berdua dengan perempuan sampai tengah malam? Memangnya kenapa kalau ada perempuan yang tidur di kamarku? Apakah itu selalu berarti aku sedang menghianati seseorang?
Kita bisa bersepakat, norma umum adalah garis pemisah antara baik dan buruk yang berlaku. Dibuat oleh manusia-manusia semenjak anak kecil dilatih berburu dengan panah, dibuat sejak zaman bumi memiliki ujung, dibuat sejak zaman surat lamaran harus dibuat dengan tulisan tangan, sejak zaman manusia bermimpi menginjakkan kakinya di bulan, dibuat sejak manusia belum mengenal komputer. Diteruskan oleh penganut-penganutnya, baik yang mendukung dengan radikal maupun yang menentang dengan ekstrim
Tetap saja, sekalipun untuk seorang penentang yang paling ekstrim sekalipun, nilai-nilai tersebut terlanjur merasuk ke dalam alam sadar dan tidak sadarnya. Setidaknya itu terjadi pada masa kanak-kanaknya. Hal tersebut menjadi kesadaran awal yang menjadi rumus untuk menghitung mana batas baik dan mana batas buruk. Sekalipun angkanya berbeda untuk tiap orang. Wajar, otak manusia tidak seperti kalkulator. Masukkan angka yang sama, dan hasilnya akan sama diulangi berapa kalipun juga
Keadaan diperparah dengan penyakit bergunjing yang menyerang tanpa pandang bulu. Menghinggapi manusia paling hina, sampai manusia yang dipandang paling terhormat sekalipun. Hanya sedikit manusia yang dapat terlepas dari penyakit ini. Kerusakan yang ditimbulkan oleh gunjingan seorang terhormat sama parahnya dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh gunjingan seorang hina
Lantas apa yang menjadi dasar untuk seorang manusia merasa memiliki hak untuk memaksakan nilai yang baik dan nilai yang buruk? Apakah fanatisme? Apakah itu rasa sayang yang berlebihan? Ataukah kecintaan terhadap status quo? Ataukah hanya sekedar ingin menunjukkan siapa yang sedang berkuasa? Apa ada alasan yang cukup mumpuni untuk melegalkan paksaan?
Manusia lahir tanpa bisa memilih siapa yang akan menjadi orang tuanya. Setelah mati, dia tak bisa memilih dia akan kemana. Tetapi, semuanya adalah pilihan saat oksigen masih menjadi makanan bagi paru-parunya. Berlaku untuk seorang atheis, seorang sekuler maupun seorang monotheis.
Norma yang mengekang hidup manusia saat ini, diciptakan oleh manusia bebas. Manusia yang diberi kebebasan untuk menentukan norma seperti apa yang diinginkannya. Diberi pilihan, sekalipun ada harganya. Tetapi pada dasarnya, pilihan tetap berada ditangan manusia sampai saat matinya. Pilihan dengan harga